Rabu, 16 Juni 2010

MENUJU JAYAKARTA

MENUJU JAYAKARTA


Catatan sejarah mengenai masyarakat pertama kali yang bermukim dan hidup secara teratur di kawasan yang kini dinamakan Jakarta, diduga adalah penduduk Kerajaan Tarumanegara, sekitar abad ke-5. Saksi tertua akan informasi tersebut adalah Prasasti Tugu, yang hampir seribu empat ratus tahun lamanya tertanam di desa Batu Tumbuh (Tugu), Jakarta Utara, dan pada tahun 1911 dipindahkan ke Museum Nasional. Bekas tempat berdirinya prasasti itu kini tertutup jalan aspal, walaupun inilah monumen historis tertua tentang Jakarta.
Abad ke 8 kapal-kapal dari Jawa berlayar ke laut lepas membawa pulang barang dagangan serta pengalamannya selama di dunia luar. Gambar ada pada relief candi Borobudur.
Tentang Prasasti Tugu ini, A.Heuken SJ (Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta), menyebutkan bahwa prasasti tersebut berkaitan dengan empat prasasti tua di Jawa lainnya yang berasal dari masa Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara. Keempat batu lainnya yang juga ditulis dalam bahasa Sansekerta adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Cidanghiang (Lebak), Prasasti Kebon Kopi (Ciampea) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).

Abad ke 5 Jung-jung Tionghoa berlayar ke Jawa Barat. Gambar : Jung dari armada Zheng-Ho, abad ke 15.
Pada akhir abad ke-7, Kerajaan Tarumanegara diduga kuat sudah lenyap. Daerahnya takluk pada Sriwijaya untuk kemudian pada abad ke-11 berada pada pengaruh Jawa sebagaimana ditunjukkan melalui Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M). Tentang istilah Sunda (Kelapa) itu sendiri baru muncul pada abad ke-10, sebagaimana Prasasti Kebon Kopi II (942 M) dan sebuah catatan (buku) Cina yang mengandung uraian tentang Sunda, Chu-fan-chi, karangan Chau Ju-kua (1178-1225).
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo (Sejarah Perkembangan Kota Jakarta), berita-berita tentang adanya masyarakat yang menetap di daerah Jakarta sekarang ini pasca Purnawarman hingga datangnya Portugis tidak banyak jumlahnya. Baru pada awal abad ke-16 terdapat lagi berita-berita mengenai bekas daerah Purnawarman itu. Di daerah itu muncul pelabuhan yang dikenal sebagai Sunda Kelapa yang berada dalam pengawasan kerajaan Hindu Sunda, Kerajaan Pakuan Pajajaran, dengan Ibukota kerajaannya terletak di sekitar Batutulis (Bogor). Orang-orang Tionghoa golongan tua yang ternyata telah cukup lama berkunjung ke kawasan ini kadang masih menyebut Sunda Kelapa sebagai Kota Yecheng atau Kota Kelapa.
Abad ke 4 kapal-kapal india mengunjungi Kepulauan Nusantara. Gambar : Kapal dari kepulauan Maldiva

Adalah Tome Pires (The Suma Oriental), seorang musafir Portugis yang mengunjungi Sunda Kelapa, menuliskan bahwa pelabuhan ini telah dikunjungi kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Madura dan juga pedagang-pedagang dari India, Tiongkok Selatan dan kepulauan Ryuku (kini Jepang). Pires yang datang bersama Enrique Leme, utusan Gubernur Jenderal Portugis, d'Alboquerque, tiba di Sunda Kelapa pada 1522. Kehadiran mereka ini memang telah ditunggu Raja Sunda Samian atau Sangiang (Sang Hyang) Surawisesa (1521-1535), yang ketika masih menjadi putra mahkota sempat mengunjungi d'Alborquerque yang telah menguasai Malaka sejak 1511.
Dan selanjutnya, pada 21 Agustus 1522 disepakati sebuah perjanjian persahabatan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Portugal. Menurut A.Heuken SJ (Historical Sites of Jakarta), "inilah perjanjian internasional pertama di negara kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Indonesia kini". Di dalam tulisan J.D. Baros (Da Asia), dalam perjanjian itu, saksi dari Sunda Kelapa adalah 'Padam Tumongo, Ssamgydepati et Bemgar, - yakni Paduka Tumenggung, Sang Adipati dan (Syah)bandar dan dari pihak Portugis delapan orang. Masing-masing, Fernao de Almeida (bendahari pelayaran); Fransisco Eanes (pencatat muatan); Joao Countinho; Gil Barbosa; dan Thome Pinto. Menurut Hoesein Djajadiningrat (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten), perjanjian itu (tidak ditandatangani oleh pihak Sunda, tetapi) disyahkan menurut adat dengan mengadakan selamatan.

Abad ke 12 kapal Arab sudah singgah di bandar-bandar pesisir utara Jawa.
Sebagai tanda perjanjian tersebut, sebuah batu besar ditanam di pantai. Batu yang disebut padro itu ditemukan kembali pada tahun 1918, waktu dilakukan penggalian untuk membangun rumah baru di pojok persimpangan Prinsen Straat dan Groene Straat di Jakarta Kota. Jalan-jalan itu sekarang bernama Jl Cengkeh dan Jl Nelayan Timur. Adapun batu padrao sekarang disimpan dalam Museum Nasional di Jl. Medan Merdeka Barat. Lokasi semula batu ini menunjukkan, bahwa pantai pada awal abad ke-16, kurang lebih lurus dengan garis yang kini menjadi Jl. Nelayan.
Tentang kenapa Raja Pakuan Pajajaran menerima perjanjian tersebut diduga karena mereka memandang kehadiran Portugis akan memperkokoh posisi mereka dalam urusan niaga terutama lada, maupun dalam menghadapi tentara Islam dari Kesultanan Demak, yang kekuatannya sedang naik daun di Jawa Tengah. Tentu saja, Perjanjian Sunda-Portugis ini mencemaskan Sultan Trenggana dari Demak. Maka, karena itu pada tahun 1526/1527, Fatahillah, panglima pasukan Cirebon, yang bersekutu dengan Demak, mendatangi Sunda Kelapa dengan 1.452 orang tentara. Dan sejak itu, penduduk Sunda yang terkalahkan mundur ke arah Bogor. Adapun Jayakarta (nama baru Sunda Kelapa sejak 1527) dihuni oleh 'Orang Banten' yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon bersama saudagar-saudagar Arab dan Tionghoa di muara Ciliwung. Adapun penguasaannya berada di bawah Cirebon dan untuk kemudian di bawah Banten.

Abad ke 16 kapal Portugis atau galeon mulai tampak di perairan Lautan Hindia dan sekitarnya.

Kapal layar Belanda pada sebuah batu dari Kastael Batavia yang disimpan dalam Museum Sejarah Jakarta.

Menurut perhitungan dan perkiraan Dr. Soekanto, kejadian itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, yang kini dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Menurut Soekanto, pada hari itu Fatahillah memberi nama baru pada Sunda Kelapa karena kemenangannya atas tentara Hindu Sunda dan awak kapal Portugis. Tetapi, dasar historis hipotesis tersebut ada beberapa yang meragukannya. Setidaknya Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo pada tahun 1956, sewaktu menghadiri perayaan pertama hari ulang tahun Jakarta merasa terheran-heran dan setengah mengejek 'peringatan ganjil' itu.

Kapal Kompeni Belanda yang menjadi tulang punggung imperium niaga dari capetown sampai nagasaki dengan Batavia sebagai pusat kegiatannya
Sementara itu, menurut Prof.Dr.Slametmuljana dari Universitas Indonesia, penamaan kota ini menjadi Jayakarta baru diperoleh dari adipati yang ketiga, yakni Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta. Namun, belum terdapat data sejarah yang pasti membenarkan salah satu hipotesis tersebut. Hanya saja, Walikota Soediro (1952-1960), memperoleh dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk teori Dr. Soekanto. Maka, pemerintah Jakarta berpegang pada teori ini. Keputusan 1956 tersebut disebut sebagai 'kemenangan Soediro' berlandaskan 'kemenangan Fatahillah' yang kurang pasti tanggalnya. Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan ahli sejarah Abdurrachman Surjomihardjo, perdebatan historis itu telah diselesaikan (?) dengan keputusan politis.
Dan, menurut Dr. Soekanto, sebagai seorang pimpinan Muslim, Fatahillah tentu teringat kepada Surah Al-Fath, ayat 1, yang berbunyi, "Inna fatahna laka fathan mubinan," (Sungguh Kami telah memberi kemenangan kepada mu, kemenangan yang tegas atau Jayakarta). Sementara menurut Abdurrachman Surjomihardjo, di samping itu, sering pula dipakai kata Surakarta, yang berarti karya yang berani dan sakti. Tetapi nama Jayakarta lebih terpakai. Adapun, nama Jakarta itu sendiri muncul pertama kali dalam buku Joao de Barros, Da Asia…, (Xacatra por outro nome Caravam - 'Xacatra yang disebut juga Caravam (=Karawang).
Kapal Spanyol abad ke 16 yang masuk perairan Indonesia lewat lautan pasifik

Kapal Galleon Inggris dari zaman Ratu Elizabeth I. Kapal seperti ini digunakan dari abad 16 - 18.

Naskah ini diterbitkan pada tahun 1552 dari sumber yang lebih tua.

MUSEUM FATAHILAH JAKARTA

Museum Fatahillah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari


Gedung museum


Gambar gedung Museum Fatahillah saat masih merupakan Balai Kota Batavia, tahun 1770
Museum Fatahillah yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi.
Gedung ini dulu adalah Stadhuis atau Balai Kota, yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jenderal Johan Van Hoorn. Bangunan balaikota itu serupa dengan Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.
Arsitektur


Gedung Stadhuis di awal abad ke-20, dihubungkan dengan jalur trem ke pusat pemerintahan di kawasan Weltevreden.
Arsitektur bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya Barok klasik[rujukan?] dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
Museum ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
Koleksi


Plang Peringatan Pembangunan Museum Fatahillah yang dahulunya adalah Balai Kota
Objek-objek yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Cina, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin.
Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Selain itu, di Museum Fatahillah juga terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulu sempat digunakan pada zaman penjajahan Belanda.
Sejarah
Pada tahun 1937, Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia, yayasan tersebut kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co yang terletak di sebelah timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27 (kini museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia. Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.
Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum Djakarta Lama'’ diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu -Ali Sadikin- kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Sejarah Jakarta sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekedar tempat untuk merawat, memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus bisa menjadi tempat bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Museum Sejarah Jakarta berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih rekreatif. Selain itu, melalui tata pamernya Museum Sejarah Jakarta berusaha menggambarkan “Jakarta Sebagai Pusat Pertemuan Budaya” dari berbagai kelompok suku baik dari dalam maupun dari luar Indonesia dan sejarah kota Jakarta seutuhnya. Museum Sejarah Jakarta juga selalu berusaha menyelenggarakan kegiatan yang rekreatif sehingga dapat merangasang pengunjung untuk tertarik kepada Jakarta dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya.
Sejarah Gedung
Gedung Museum Sejarah Jakarta mulai dibangun pada tahun 1620 oleh ‘'’Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen”’ sebagai gedung balaikota ke dua pada tahun 1626 (balaikota pertama dibangun pada tahun 1620 di dekat Kalibesar Timur). Menurut catatan sejarah, gedung ini hanya bertingkat satu dan pembangunan tingkat kedua dibangun kemudian hari. Tahun 1648 kondisi gedung sangat buruk. Tanah Jakarta yang sangat labil dan beratnya gedung menyebabkan bangunan ini turun dari permukaan tanah. Solusi mudah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah tidak mengubah pondasi yang sudah ada, tetapi lantai dinaikkan sekitar 2 kaki, yaitu 56 cm. Menurut suatu laporan 5 buah sel yang berada di bawah gedung dibangun pada tahun 1649. Tahun 1665 gedung utama diperlebar dengan menambah masing-masing satu ruangan di bagian Barat dan Timur. Setelah itu beberapa perbaikan dan perubahan di gedung stadhuis dan penjara-penjaranya terus dilakukan hingga bentuk yang kita lihat sekarang ini.
Gedung ini selain digunakan sebagai stadhuis juga digunakan sebagai ‘’Raad van Justitie'’ (dewan pengadilan) yang kemudian pada tahun 1925-1942 gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 markas Komando Militer Kota (KMK) I, yang kemudian menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat. Tahun 1968 diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta, lalu diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakartapada tanggal 30 Maret 1974.
Seperti umumnya di Eropa, gedung balaikota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan ‘’stadhuisplein'’. Menurut sebuah lukisan uang dibuat oleh pegawai VOC ‘'’Johannes Rach”’ yang berasal dari ‘'’Denmark”’, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungakan dengan pipa menuju stadhuiplein. Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Maka dengan bukti sejarah itu dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah Taman Fatahillah. Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu ‘'’Taman Fatahillah”’ untuk mengenang panglima Fatahillah pendiri kota Jakarta.
Sejarah Kota Jakarta
Berdasarkan penggalian arkeologi, terdapat bukti bahwa pemukiman pertama di Jakarta terdapat di tepi sungai Ciliwung. Pemukiman ini di duga berasal dari 2500 SM (Masa Neolothicum). Bukti tertulis pertama yang diketemukan adalah prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh Raja Tarumanegara pada abad ke-5. Prasasti merupakan bukti adanya kegiatan keagamaan pada masa itu. Pada masa berikutnya sekitar abad ke-12 daerah ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda dengan pelabuhannya yang terkenal pelabuhan Sunda Kelapa.
Pada masa inilah diadakan perjanjian perdagangan antara pihak Portugis dengan raja Sunda. Pada abad ke-17 perdagangan dengan pihak-pihak asing makin meluas, pelabuhan Sunda Kelapa berubah menjadi Jayakarta (1527) dan kemudian menjadi Batavia (1619). Tahun 1942 bangsa Jepang merebut kekuasaan dari tangan Belanda dan berkuasa di Indonesia sampai tahun 1945.
Koleksi
Perbendaharaannya mencapai jumlah 23.500 buah berasal dari warisan Museum Jakarta Lama (Oud Batavia Museum), hasil upaya pengadaan Pemerintah DKI Jakarta dan sumbangan perorangan maupun institusi. Terdiri atas ragam bahan material baik yang sejenis maupun campuran, meliputi logam, batu, kayu, kaca, kristal, gerabah, keramik, porselen, kain, kulit, kertas dan tulang. Diantara koleksi yang patut diketahui masyarakat adalam Meriam si Jagur, sketsel, patung Hermes, pedang eksekusi, lemari arsip, lukisan Gubernur Jendral VOC Hindia Belanda tahun 1602-1942, meja bulat berdiameter 2,25 meter tanpa sambungan, peralatan masyarakat prasejarah, prasasti dan senjata.
Koleksi yang dipamerkan berjumlah lebih dari 500 buah, yang lainnya disimpan di storage (ruang penyimpanan). Umur koleksi ada yang mencapai lebih 1.500 tahun khususnya koleksi peralatan hidup masyarakat prasejarah seperti kapak batu, beliung persegi, kendi gerabah. Koleksi warisan Museum Jakarta Lama berasal dari abad ke-18 dan 19 seperti kursi, meja, lemari arsip, tempat tidur dan senjata. Secara berkala dilakukan rotasi sehingga semua koleksi dapat dinikmati pengunjung. Untuk memperkaya perbendaharaan koleksi museum membuka kesempatan kepada masyarakat perorangan maupun institusi meminjamkan atau menyumbangkan koleksinya kepada Museum Sejarah Jakarta.
Tata Pamer Tetap
Dengan mengikuti perkembangan dinamika masyarakat yang menghendaki perubahan agar tidak tenggelam dalam suasana yang statis dan membosankan, serta ditunjang dengan kebijakan yang tertuang dalam visi dan misi museum, mengenai penyelenggaraan museum yang berorientasi kepada kepentingan pelayanan masyarakat, maka tata pamer tetap Museum Sejarah Jakarta dilakukan berdasarkan kronologis sejarah Jakarta, dan Jakarta sebagi pusat pertemuan budaya dari berbagai kelompok suku bangsa baik dari dalam maupun dari luar Indonesia, Untuk menampilkan cerita berdasarkan kronologis sejarah Jakarta dalam bentuk display, diperlukan koleksi-koleksi yang berkaitan dengan sejarah dan ditunjang secara grafis dengan menggunakan foto-foto,gambar-gambar dan sketsa, peta dan label penjelasan agar mudah dipahami dalam kaitannya dengan faktor sejarah dan latar belakang sejarah Jakarta.
Sedangkan penyajian yang bernuansa budaya juga dikemas secara artistik dimana terlihat terjadinya proses interaksi budaya antar suku bangsa. Penataannya disesuaikan dencan cara yang seefektif mungkin untuk menghayati budaya-budaya yang ada sehingga dapat mengundang partisipasi masyarakat. Penataan tata pamer tetap Museum Sejarah Jakarta dilakukan secara terencama, bertahap, skematis dan artistik. Sehinga menimbulkan kenyamanan serta menambah wawasan bagi pengunjungnya.
Kegiatan
Sejak tahun 2001 sampai dengan 2002 Museum Sejarah Jakarta menyelenggarakan Program Kesenian Nusantara setiap minggu ke-II dan ke-IV untuk tahun 2003 Museum Sejarah Jakarta memfokuskan kegiatan ini pada kesenian yang bernuansa Betawi yang dikaitkan dengan kegiatan wisata kampung tua setian minggu ke III setiap bulannya.
Selain itu, sejak tahun 2001 Museum Sejarah Jakarta setiap tahunnya menyelenggarakan seminar mengenai keberadaan Museum Sejarah Jakarta baik berskala nasional maupun internasional, Seminar yang telah diselenggarakan antara lain adalah seminar tentang keberadaan museum ditinjau dari berbagai aspek dan seminar internasional mengenai arsitektur gedung museum.
Untuk merekonstruksi sejarah masa lampau khususnya peristiwa pengadilan atas masyarakat yang dinyatakan bersalah, ditampilkan teater pengadilan dimana masyarakat dapat berimporvisasi tentang pelaksanaan pengadilan sekaligus memahami jiwa zaman pada abad ke-17.
Fasilitas
• Perpustakaan
Perpustakaan Museum Sejarah Jakarta mempunyai koleksi buku 1200 judul. Bagi para pengunjung dapat memanfaatkan perpustakaan tersebut pada jam dan hari kerja Museum. Buku-buku tersebut sebagian besar peninggalan masa kolonial, dalam berbagai bahasa diantaranya bahasa Belanda, Melayu, Inggris dan Arab. Yang tertua adalah Alkitab/Bible tahun 1702.
• Kafe Museum
Kafe Museum dengan suasana nyaman bernuansa Jakarta ‘’tempo doeloe'’, menawarkan makanan dan minuman yang akrab dengan selera anda.
• Souvenir Shop
Museum menyediakan cinderamata untuk kenang-kenangan para pengunjung yand dapat diperoleh di souvenir shop dengan harga terjangkau.
• Musholla
Anda tidak perlu khawatir kehilangan waktu sholat, karena kami menyediakan musholla dengan perlengkapannya.
• Ruang Pertemuan dan Pameran
Menyediakan ruangan yang representatif untuk kegiatan pertemuan, diskusi, seminar dan pameran dengan daya tampung lebih dari 150 orang.
• Taman Dalam
Taman yang asri dengan luas 1000 meter lebih, serta dapat dimanfaatkan untuk resepsi pernikahan.
Waktu Buka Selasa sampai Minggu jam 09.00 - 15.00 WIB Hari Senin dan Hari Besar Tutup
Harga Tanda Masuk Dewasa Rp. 2000 Mahasiswa Rp. 1000 Pelajar/Anak Rp. 600 Rombongan Dewasa Rp. 1500 Rombongan Mahasiswa Rp. 750 Rombongan Pelajar/Anak Rp. 500
Rombongan minimal 20 orang.
Alamat Museum Sejarah Jakarta Jl. Taman Fatahillah No. 1 Jakarta Barat Telp (62-21) 6929101, 6901483 Fax. (62-21) 6902387 email: musejak@indosat.net.id

SEJARAH JAKARTA

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.



Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.

*
Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
*
22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
*
4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia.
*
1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
*
8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
*
8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
*
September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
*
20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
*
24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.
*
18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Djakarta Raya.
*
Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
*
31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
*
Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu)
* Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);